REVIEW FILM “DANCING IN THE RAIN”



Judul film                   : Dancing In The Rain
Durasi                         : 101 menit
Pemain                       : Banyu Anggoro (Dimas Anggara), Eyang (Christine Hakim), Kinara (Bunga Zainal), Radin (Deva Mahendra), Banyu kecil (Gilang Olivier), Radin kecil (Joshua Rundengan), Kinara kecil ( Greesella Adhalia), Psikolog (Ayuh Dyah Pasha), Ibunya Radin (Djenar Maesa Ayu)
Setting Gangguan     : Spektrum Autis
Deskripsi singkat       :
Banyu Anggoro adalah penderita spektrun autis sejak lahir. Karena kekurangan tersebut orang tuanya tidak mau mengakuinya, sehingga menitipkan pada sang eyang. Tinggallah mereka berdua dalam satu rumah dibantu oleh simbok (asisten rumah tangga). Eyang sangat sabar dan menyayangi Banyu. Hingga pada akhirnya Banyu menginjak waktunya untuk sekolah (TK), di sana guru mulai melihat Banyu bersikap tidak seperti murid lainnya. Ia sibuk dengan dunianya sendiri, ditunjukkan dengan sibuk mewarnai, tidak mengikuti arahan guru untuk menyanyi ataupun senam, melakukan gerakan berulang-ulang, makan tepat waktu di jam 9, dan puncaknya ketika guru menyuruh Banyu untuk mengikuti arahannya tapi Banyu memilih untuk bermain rubik dan saat itu Banyu menjadi marah. Karena hal itu guru menyarankan sang Eyang untuk membawa Banyu ke psikolog sebelum terlambat.
Setelah melakukan beberapa kali asessmen akhirnya psikolog menyatakan bahwa Banyu menderita spektrum autis sejak lahir dimana hal tersebut dapat terjadi karena trauma pada kandungan atau stress pada ibu. Hal ini pun di dukung dengan latar belakang ibu kandung Banyu dimana sejak dalam kandungan Banyu memang tidak diinginkan. Akan tetapi, Banyu memiliki IQ di atas rata-rata dan psikolog hanya bisa membantu agar Banyu bisa hidup secara mandiri. Dan salah satu terapinya adalah terapi bersosial dengan lingkungan sekitar untuk membantu Banyu agar dapat berkomunikasi dengan mudah. Serta dukungan lingkungan sekitar. Akhirnya Eyang pun mengijinkan Banyu untuk berinteraksi dengan anak-anak disekitar rumah. Namun karena Banyu masih belum bisa bersosialisasi ia pun mendapat Bully-an dari lingkungan.
Hingga suatu saat ia bertemu dengan Radin yang membantunya dari pemBully-an. Ketika awal bertemu Banyu hanya tertunduk terus dan mengabaikan uluran perkenalan Radin. Namun pada akhirnya mereka menjadi akrab. Bahkan pada suatu waktu Banyu membantu seorang anak bernama Kinara yang sedang terkena Bully. Mereka bertiga pun saling berkenalan dan menjadi sahabat hingga besar.
          Banyu besar menjadi orang yang sangat jenius. Ia sangat menyukai bidang matematika. Hingga kerap menjuarai berbagai ajang olimpiade matematika. Banyu juga menyukai segala buku bacaan dan ia menyukai rubik. Jiwa sosial atau persahabatannya pun sangat besar dengan ditunjukkan pada cerita diakhir film, dimana Banyu memilih untuk memberikan jantungnya pada Radin agar jantung Radin berfungsi secara normal.
 
Intervensi Psikologi   :
Untuk intervensi psikologi dalam film ini tidak dijelaskan, namun ada bagian percakapan dimana psikolog tidak bisa menyembuhkan namun hanya dapat melatih kemandirian saja. Oleh karena itu penulis akan mengkaitkan pada jurnal yang berjudul “Terapi Perilaku untuk Melatih Kemandirian Berjalan pada Anak Autis” yang di tulis oleh Dini Fidyanti Devi yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam penelitian ini, terfokus pada melatih kemampuan kemandirian berjalan anak autis saat berada di dalam kelas terapi. Pihak sekolah banyak mengeluh akan kondisi yang terjadi dalam proses belajar melatih motorik kasar pada salah satu murid autis dikelasnya, terutama pada perilaku subjek yang sering merangkak di dalam kelas. Dalam kesehariannya, ibu subjek sering menggendong subjek sehingga membuat subjek tidak memiliki kemandirian untuk berjalan sendiri. Subjek hanya mau berjalan jika ada ibunya, hal ini membuat subjek menjadi kurang mandiri untuk melatih motorik kasarnya terutama dalam kamandirian berjalan atau menjalankan fungsi sosialnya dengan menggunakan pendekatan classical conditioning Pavlov sebanyak satu kali perlakuan yang terdiri 8 kali pertemuan, dimana masing-masing sesi berlangsung kurang lebih 60 menit.
Pada sesi pertama kali dilakukan pengkondisian, subjek dibawa masuk keruang terapi. Saat itu subjek mau masuk kelas terapi namun masih sering menoleh kearah ibunya, dan sesaat setelah pintu ruang terapi ditutup, subjek hanya dapat bertahan berdiri dan berjalan selama beberapa menit dan tiba-tiba terduduk. Setelah terduduk, dalam setiap melakukan kegiatan subjek merangkak dalam melakukan aktivitasnya di dalam ruang terapi. Setelah itu, terapi dilakukan dengan pemberian stimulus yaitu dihadirkannya figur ibu di dalam kelas. Saat itu, subjek terlihat ceria dan dalam setiap melakukan aktivitas di kelas, subjek terlihat lebih banyak berjalan dibandingkan merangkak. Subjek juga lebih sering mendekat ke figur ibu dan mengayunkan tangan seperti minta digendong, namun ibu subjek diminta terapis untuk belajar membiasakan tidak sering-sering menggendong subjek lagi.
Pada sesi berikutnya yang dilakukan di hari kedua, figur ibu kembali dihadirkan di dalam kelas. Saat itu subjek dilatih motorik kasarnya dengan berlatih berjalan di atas papan titian bersama gurunya. Pada awal intervensi berlangsung subjek terlihat kurang nyaman, namun terapi tetap terus dilakukan dimana pandangan subjek masih tetap terfokus pada figur ibu. Setelah 10 kali bolak balik berjalan di atas papan titian, subjek terduduk kembali dan merangkak kembali. Setelah melihat subjek mulai merangkak, terapis meminta ibu subjek berjalan kearah subjek dan subjek seketika langsung bangkit dan berjalan menuju ke arah ibunya. Sehingga pada sesi itu, selain dihadirkan ibu subjek, juga dihadirkan guru subjek. namun, peran ibu subjek disini dibatasi, dimana ibu subjek tidak boleh sama sekali membantu subjek untuk berlatih berjalan mandiri dengan gurunya.
Pada terapi perilaku yang dijalankan pada pertemuan ketiga dan keempat, kedua proses di atas di ulang kembali. Walau saat dihadirkan figur ibu dan guru secara bersamaan, subjek diajarkan agar tetap bisa fokus pada gurunya dan mampu berjalan mandiri saat di kelas. Disini keberadaan figur dari ibu di kelas perlahan-lahan mulai dikurangi. Dimulai dari mundur beberapa langkah dari tempat keberadaan subjek, mengantarkan subjek masuk kelas dan berdiri di depan pintu, sampai pada akhirnya pintu kelas ditutup dan tidak ada ibu subjek saat kelas terapi berlangsung.
Pada pertemuan kelima, subjek dibawa oleh gurunya untuk berlatih berjalan mandiri di luar kelas dimana ada ibu subjek. Namun, subjek tetap fokus berlatih berjalan mandiri dan tidak terpengaruh dengan kehadiran ibunya. Subjek hanya melihat kearah ibunya dan melambaikan tangan dari kejauhan. Pada terapi pertemuan keenam, subjek sudah mulai mengikuti terapi di dalam kelas hanya dengan gurunya tanpa ada kehadiran ibu. Dalam setiap kegiatan di kelas terapi, subjek mulai mau mengikuti instruksi guru dan tidak merangkak lagi saat berada di dalam kelas.
Terapi ini dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan, dan dilakukan secara berulang sampai terbentuk perilaku yang diinginkan yaitu subjek mampu melatih kemandiriannya dalam berjalan tanpa didampingi figur ibunya. Dari pelaksanaan intervensi yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan intervensi berjalan dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari kerjasama antara guru terapi dan ibu subjek selama proses intervensi perilaku ini berlangsung. Dua minggu setelah dilakukan intervensi dapat dilihat beberapa perubahan sebelum dan sesudah intervensi yaitu subjek mampu berjalan mandiri tidak hanya di dalam kelas terapi, namun juga di lingkungan sekolah tanpa adanya bantuan dari ibu ataupun berjalan merangkak.
Selain terapi kemandirian yang diberikan oleh Banyu pada film tersebut juga diberikan terapi bersosial agar banyu dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Hal ini dikaitkan pada jurnal yang berjudul “Penerapan Metode ABA (Applied Behavior Analysis) untuk Meningkatkan Kontak Mata pada Anak dengan Gangguan Autis: Sebuah Laporan Kasus” oleh Rizki Remisari dari Universitas Muhammadiyah Malang. Mengapa dikaitkan dengan jurnal tersebut? Karena dalam film tersebut Banyu tidak pernatah berkontak mata secara langsung saal di lingkungan atau saat interaksi sosial dimana ia cenderung menunduk.
Berdasarkan penelitian di jurnal tersebut diperoleh hasil sebagai berikut, pada hari pertama pelaksanaan intervensi, subjek belum dapat melakukan kontak mata selama tiga detik. Pada hari kedua subjek dapat melakukan kontak mata sebanyak satu kali. Pada hari ketiga kontak mata subjek meningkat dari satu kali menjadi dua kali. Kemudian pada hari keempat tetap sama, dimana subjek melakukan kontak mata sebanyak dua kali. Pada hari berikutnya kontak mata subjek selama tiga detik menurun, dari dua kali menjadi satu kali. Selanjutnya pada hari keenam dan ketujuh pelaksanaan intervensi, subjek melakukan kontak mata sebanyak dua kali. Kemudian pada hari kedelapan subjek dapat melakukan kontak mata, tetapi menurun dari dua kali menjadi satu kali. Sedangkan pada hari terakhir kontak mata subjek meningkat dari satu kali menjadi dua kali.
         Terapi yang digunakan oleh praktikan untuk meningkatkan kontak mata subjek yaitu dengan mengguanakan metode ABA. Pemilihan metode ABA pada kasus subjek karena metode ini efektif dalam mengubah perilaku pada anak dengan gangguan autis (Larsson, 2013 ; Rivera, 2008 ; Connery, 2013) . Selain itu metode ini juga terstruktur, memiliki kemudahan dalam mengukur hasilnya dan metode ini mudah diterapkan pada subjek (Handojo, 2009). Intervensi yang dilakukan pada subjek menunjukkan bahwa metode ini efektif untuk meningkatkan kontak mata pada subjek. Reinforcement berupa imbalan apabila perilaku yang diharapkan dari subjek muncul yaitu dengan memberikan imbalan berupa permen. Namun pemberian itu hanya diberikan sampai dengan hari ketiga pelaksanaan proses terapi kemudian digantikan dengan pemberian berupa pujian “hebat dan pintar”dan aksi tertentu seperti (tos dengan menggunakan tangan atau jari) jika subjek melaksanakan instruksi terapis. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Pramuka Di Era Modern

FUNGSI, PERAN, DAN MENGIDENTIFIKASI PERAN KEPEMIMPINAN DARI BERBAGAI DIMENSI