Dibalik Jendela, Nela

Di Balik Jendela, Nela
Oleh : Sema Karunia



Menunggu membuatku mengidap bipolar[1]. Detik yang lalu, aku terbang melayang karena kebahagiaan. Detik selanjutnya, aku merasa jatuh ketempat paling dalam dan orang sering menyebutnya kesedihan. Virus apa yang sudah kamu berikan kepadaku? Sehingga, berulang kali aku menjadi pecandu teknologi. Berjalan mondar-mandir seperti anjing jaga, lalu melihat layar kaca kecil yang sebesar telapak tangan hanya untuk melihat balasan singkatmu. Benar-benar virus yang menyebalkan.
***
13 Juli 2017, daun pertama yang mendarat mulus ditelapak tangan Jogja. Dua tahun aku tak berkunjung ketempat ini dan meninggalkan kenangan tanpa berpamit. Mungkin, aku yang salah atau kamu yang salah? entahlah. Aku hanya sebagai pecinta kelas teri,[2]namun  wanita selalu saja mengharapkan lebih. Ya, kusadari karena aku memang magnet.
Aku terlalu keras seperti karang didasar ombak. Aku meninggalkannya di tepi Kalimati dan merobek cerita terakhir dalam buku. Lalu, melarungnya bersama ombak Pantai Selatan. Saksi bisu hanyalah sebuah sumur tua berasa air tawar yang dijaga oleh pawang-pawang tidak jelas. Mereka hanya menawarkan sesajen, untuk prasyarat penggembira nafsu. Aku terpaksa, karena aku tidak menginginkan cerita ini berakhir.
Kini, sosokku kembali melayang kemasalalu. Menapaki setiap kenangan diatas butir-butir halus keemasan. Huh, untuk melangkah saja terasa berat. Angin sepertinya tak merestuiku untuk terus melangkah, melangkah, dan melangkah. Bahkan, butiran halus ikut bekerjasama. Mereka terus melempariku dengan kebencian, hingga membuat kristal bening meluncur dengan seenaknya dipipiku. Sesakit itukah hatimu?
Kuakui, bayangmu terus saja mengendap diotakku seperti dopamin[3] yang tidak akan pernah mengikis. Kekehanmu ketika tertawa terbahak-bahak menjadikan laguku disetiap harinya. Kamu tidak pernah mengeluh dengan sikapku. Namun, aku terus menguji kesetiaanmu. Meskipun aku tahu, kamu adalah wanita yang tidak akan pernah pergi kepelukan laki-laki lain. Karena kamu sangat menghargai suatu hubungan.
“Hahaha....kenapa kau tanyakan itu lagi. Kau sudah tahu jawabanku, aku tidak akan pernah pergi darimu. Meskipun, kamu akan menjauh dariku.” Ciuman manismu itu malu-malu membekas dikenanganku tepatnya dipipi kananku.
Aku merindukanmu. Tapi, sepertinya akan sulit perjuanganku kali ini. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Kamu membuatku kebingungan di kota ini. Kamu membawaku terbang dan jatuh bersamaan di kota ini. Apakah ini caramu untuk menyiksaku, Nela?
***
Dibalik jendela kamar berukuran 2x3 meter ini, tanpa sengaja aku menemukan kertas usam. Kertas yang sudah lama tak terjamah oleh tangan-tangan nakal hingga, warnanya berubah kekuningan. Disana tertulis sebuah susunan angka, segera aku menyambar benda canggihku yang dapat menghantarkan pemiliknya mengelilingi dunia. Kucoba saja kuketikan angka-angka itu, ternyata tersambung.
“Halo...” terdengar suara wanita dari seberang. Suara ini mengantarkanku pada sebuah kenangan yang ingin aku lupakan.
“Nela?”
Tut..tut..tut...
Tubuhku tiba-tiba melemas, rasanya tulang-tulangku kini telah berlari tidak pada tempatnya. Otakku masih tak percaya bahkan batinku terus bertanya. Benarkah ini, Nela? Kuulangi lagi, kuketikan angka-angka indah itu, lalu kutekan simbol berwana hijau, dan menunggu.
Maaf nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Tunggulah beberapa saat lagi.
Keparat! Dia memutuskan dengan seenaknya saja. Ada apa dengan diriku ini, bukankah aku ingin melupakannya. Bukankah aku sudah meninggalkannya lalu, ada apa dengan hatiku. Kenapa terasa sakit? Kenapa aku juga merasa marah? Nela, kamu benar-benar menyebalkan. Kamu....
Ahhh...percuma aku bergumam, masih saja mengulang aktifitasku memencet berulang kali tombol hijau. Tapi, tetap sama dan dengan jawaban yang sama. Apakah dia benar-benar membenciku? Sudahlah...aku tidak peduli. Aku memang pecinta kelas teri tapi, aku bukan orang yang mudah menyerah. Aku tidak egois, aku hanya butuh penjelasan. Penjelasan? Bukankah aku yang harus memberikan penjelasan.
Kristal ini keluar lagi, setelah dua tahun tak kukeluarkan. Tubuhku kini seperti anak-anak yang tak memiliki tempat perlindungan karena tersingkirkan oleh kenaifan sipembuat. Yang terpaksa harus bertahan dijalanan untuk menggapai cita-cita, entah itu akan tercapai atau tidak. Rezeki dan takdir hanya Tuhan yang mengetahui. Manusia hanya berusaha bukan. Nasibku persis seperti mereka, sedang berusaha.
Aku akan terus mencintaimu seperti, jantung yang terus berdetak.
Hingga Tuhan berkata berhenti.
“Nela.....” pekikku tanpa sadar dalam lamunanku akan masalalu sebagai pengantar tidur. Itu kata-kata termanismu, Nela. Dan aku tidak pernah melupakan itu. Meskipun sudah dua tahun tak mengenangmu.
Kenapa hanya dengan sepatah kata “Halo...” aku menjadi gila seperti ini. Lalu, usahaku terbuang sia-sia begitu saja. Kenangan tak akan pernah bisa terlupakan seberapapun usahaku. Karena kamu pernah menulis sebuah cerita dalam hidupku. Dua tahun itu merupakan perjuangan yang menyakitkan bagiku. Aku harus melepaskan tangan lembutmu yang selalu menggenggamku. Aku harus menghilangkan berat dipundakku ketika kamu menyandarkan kepalamu. Aku harus menutup mata ketika kamu menatapku dalam-dalam sebagai pembuktianmu akan kesetiaan. Aku harus bersikap tuli agar tak mendengar cekikikanmu ketika aku tak membuat sebuah hal yang lucu. Dan, aku harus menahan nafas agar tak mencium aroma khasmu. Aku seperti pinokio. Yang harus menghindari itu semua. Aku terkurung. Aku tersiksa.
***
Aku tidak tahu kegilaan apa yang sedang kurasakan.
Tapi, aku menikmati itu.
Menunggu memang menyebalkan.
Tapi, mengapa aku masih melakukannya untukmu.
Hingga tiba waktunya.
Aku ingin mengungkapkan rasa.
Aku mencintaimu, Nela.
                                    13 Juli 2013, Yogyakarta
Wajahnya berseri-seri dan meninggalkan noda merah muda dipipi ketika ia membaca surat yang terselip di bucket mawar hitam kesukaannya. Yang tadi kutitipkan pada anak kecil sekitaran Malioboro. Memang, aku tidak mau memberikannya langsung. Bukan berarti aku seorang pengecut! Aku senang sekali melihat ekspresi itu dari kejauhan. Kau begitu lucu dan menggemaskan.
Kini ia berdiri dari tempat duduknya. Dan sedang mencari seseorang. Entah siapa yang dicarinya. Lalu ia berjalan memutari Malioboro tapi, tak ditemukan juga sosok yang dicari. Hingga ia memutuskan untuk kembali ketempat semula dengan membawa mawar hitam ditangannya.
“Kau mencariku, Nela.”
Gadis mungil yang kira-kira memiliki tinggi 163cm ini dengan wajah manis, rambut ikal kemerahan yang panjangnya sebahu, memakai pakaian serba hitam itu lalu memelukku. Dan menatapku begitu tajam, bibirnya yang tipis, mungil, kemerahan sepertinya akan mengeluarkan sebuah kata-kata. Ya, aku siap mendengar kejutan itu darimu. Ayolah, aku sudah tidak sabar dengan jawabanmu.
“Bodoh!”
Dia lalu pergi dariku, dan membuang mawar itu kediriku. Apa yang salah denganku. Bukankah tadi ia berseri-seri dan terlihat bahagia. Lalu, kenapa sekarang?
“Nela...” dia tidak menengok kebelakang hanya untuk menanggapi panggilanku. Dia terus berjalan dan terus menjauh dariku. Jauh...jauh...dan jauh.
Aku terlihat seperti manusia bodoh. Hanya diam terpatung diantara keramaian pejalan kaki. Apa artinya dia menolakku, kenapa? Aku masih tak meyakini ini semua. Lalu, pelukan itu? Wanita memang membingungkan. Detik yang lalu ia membuatku sangat bahagia karena tingkahnya yang lucu. Tapi, sekarang ia membuatku seperti orang yang tak berguna.
Tiba-tiba benda kecil di saku celanaku bergetar. Aku tetap tidak memedulikannya. Lalu bergetar lagi, tetap saja aku mengacuhkannya. Apa kau tidak tahu perasaanku saat ini! Tidak pernah aku diperlakukan oleh wanita seperti ini. Lalu getaran ketiga, aku mulai geram dan menengok siapa yang telah menggangguku. Dilayar tertulis tiga pesan dari Nela. Segera kulihat apa pesan darinya.
Kutunggu kamu di Kalimati. Datanglah sekarang juga. Aku tidak menyukai menunggu terlalu lama.
Aku pun, segera meninggalkan kursi yang sedari tadi setia menemaniku. Aku datang, Nela. Aku tidak akan mengecewakanmu dan tidak akan membuatmu menunggu lama. Tapi, mengapa dia menyuruhku ketempat itu. Entahlah, aku hanya ingin membutuhkan jawaban atas sikapnya tadi.
***
Kurobek kertas berwana hitam yang tertulis namaku dengan Nela. Kertas berukuran persegi dengan hiasan yang menarik. Kini telah menjadi potongan-potongan kecil yang bertebangan mengikuti angin Kalimati. Bau dupa mengiringi terbangan itu dan mendarat dengan halus diatas gelombang Selatan.
“Apa maksud ini semua!” tatapnya penuh tanya bersimbah kemerahan dan menahan benda bening untuk meloncat.
“Aku tidak bisa, Nela. Aku akan ke Semarang!”
“Lalu...untuk apa ini semua?”
“Bukankah dari awal kamu berkata ini hanyalah permainan, Nela. Lalu, untuk apa pula aku bertahan di kota ini selama dua tahun.”
Kini butiran bening itu telah berhasil meloncat dan melepaskan ikatan dari si pemiliknya. “Permainan? Kamu, menganggap ini benar-benar permainan. Kesetiaanku hanyalah permainan? Permainan ini sudah berubah, Basanta Aldairo!” jeritnya diantara hamparan pasir putih.
Lalu, aku pergi begitu saja meninggalkannya. Aku terus berlari...lari...dan berlari. Maafkan aku, Nela Prasmetika...
Perjalanan begitu berat, hati ini terasa remuk meskipun diriku berusaha untuk biasa. Pergi meninggalkannya dengan cara seperti itu, bukanlah kemauanku. Aku terpaksa dan ini bukan keinginanku. Aku harus menuju Semarang karena aku telah membuat janji disana. Dan ada seseorang yang menungguku, Nela. Iya, dia menungguku untuk segera datang.
***
“Nela, apa maksud ini semua? Kenapa kamu menyuruhku ketempat ini?” tanyaku kepada gadis yang sekarang telah berdiri dihadapanku.
“Katakan,” jawabnya dan itu bukan jawaban yang kuinginkan.
“Maksudnya?” dahiku mulai membentuk lipatan seperti gelombang di Selatan dengan didukung kedua alisku yang nampak seperti tanjakan jungkat-jungkit.
“Iya, ulangi surat ini.” Disodorkannya surat yang tadi kutitipkan kepada anak di Malioboro.
“Aku mencintaimu, Nela.”
Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tidak memahami wanita ini. Wanita yang telah membuatkan jatuh cinta.
“Basanta Aldairo, kamu bercanda? Sudahkah dari awal pertemuan aku berkata, ini adalah permainan tikus dan kucing.”
“Permainan ini sudah berubah, Nela Prasmetika. Aku benar-benar mencintaimu.”
“Baiklah...”
“Apa?”
“Aku akan menjadi teman hidupmu tapi, ini hanyalah permainan. Dan kini bukan sekedar tikus dan kucing melainkan, teka teki silang.”
“Aku tidak paham.”
Dia pun tertawa lagi dan memegang wajahku dengan kedua tangan mungilnya. Aku benar-benar diperlakukan seperti anak kecil yang tidak memahami apapun itu. “Maksudku, mari kita jalani permainan teka teki silang ini. Aku juga mencintaimu.”
“Benarkah, kamu juga mencintaiku? Nela.”
“Iya...” lalu dia mengacak-ngacak rambutku dengan seenaknya dan pergi begitu saja.
Aku masih tak percaya dengan ini. Baiklah kita mainkan permainan teka teki silang menurutmu, Nela. Aku hanya tahu dan paham bahwa kamu juga mencintaiku. Kamu benar-benar wanita yang sangat membingungkan, Nela. Tapi, aku menyukai itu semua. Teruslah membuatku semakin jauh agar aku dapat terus mengejarmu dan menemukanmu dengan semua kejutan yang kamu buat. AKU MENCINTAIMU, NELA PRASMETIKA.
Cinta itu  sebuah permainan
Yang tak tahu kapan ia dimulai dan kapan ia berakhir
Kadang, kita saling mengejar
Tanpa kita sadari, tidak akan pernah bertemu pada satu titik
Tapi, itu tidak berlaku bagiku. Aku akan terus mengejar meskipun ia terus berlari. Karena dalam pengejaran itu, ia meninggalkan jejak yang membuatku semakin mencintainya. Ini memang permainan. Namun, menyenangkan.
***
Aku cari kamu
Disetiap malam yang panjang
Aku cari kamu
Kutemui kau tiada[4]
Aku mencarimu, Nela. Aku datang kepadamu karena merindukanmu. Aku tidak bisa jauh darimu. Dua tahun ini aku seperti orang bodoh, Nela. Semakin aku melupakanmu maka kamu semakin kuat menggerogoti memoriku.
Kini aku sudah berada di Kalimati, Nela. Tidak ada yang berubah dari tempat ini. Tetap hening dan dipenuhi oleh pembakaran bekas sesajen. Hanya ada satu yang berbeda dari tempat ini yaitu kisah kita. Dulu tempat ini, terpenuhi oleh canda tawamu. Namun, sekarang tempat ini sepi dan kosong. Aku sudah berada disini sesuai dengan pesanmu. Tapi, entah aku tak menemukan sosokmu. Apa kamu masih menganggap ini permainan? Bukankah terakhir kamu berkata ‘Permainan ini sudah berubah’.
Hingga langit berubah kemerahan, kau tak kunjung datang. Deburan ombak terus memaksaku pergi. Ahh...tunggulah beberapa saat lagi. Aku yakin kamu akan datang. Tempat ini mulai ramai. Baik sepasang kekasih, ibu-ibu yang sedang membakar dupa, laki-laki memakai blangkon dengan baju adat Jawa yang berkomat-kamit membaca mantra, hingga laki-laki berpakaian wanita mulai berdatangan memenuhi tempat ini. Namun, sosokmu belum terlihat sedikitpun. Tempat ini memang aneh, Nela. Seperti katamu ketika matahari bahagia tempat ini sepi dan mereka tak menyukai kebahagian matahari tetapi, ketika matahari murung dan pergi mereka berbondong-bondong merayakan kesedihannya. Kini aku tahu bagaimana perasaan matahari.
Diantara keramaian Kalimati aku masih bertahan menunggumu datang. Tapi, rupanya kamu masih terus mengujiku. Kesalahanku mungkin tidak bisa kamu maafkan. Aku pergi untuk wanita lain. Yang ternyata dia hanya berpura-pura untuk menghancurkan permainan kita. Aku terlalu bodoh, Nela. Sehingga aku lebih memilih dia. Dan kebodohoanku adalah kecerobohanku. Mengapa aku tidak langsung datang menemuimu? Mengapa aku tetap tinggal di kotaku dan meninggalkan cintaku? Mengapa? Mengapa? Aku tidak bisa menjawabnya.
Sentuhan tangan dipundakku, aku mengenal sentuhan itu. “Nela....” pekikku lalu kugenggam erat tangan itu dan mencoba untuk membalikkan badanku yang kaku karena terlalu lama aku bertahan dengan posisiku.
“Maaf...maafkan aku. Aku kira kau, Nelaku.”
Gadis kecil itu hanya menyodorkan sebuah amplop hitam lalu pergi meninggalkanku. Ku buka surat itu yang tertulis.


Dear, Basanta Aldairo
Terimakasih, karena kamu menepati janjimu dan maafkan aku karena telah membuatmu menunggu. Aku tahu, menunggu adalah hal yang membosankan dan tak pasti. Tapi, kamu tetap melakukannya untukku. Untuk apa? Bukankah kau telah meninggalkanku dengan merobek kisah dan merusak yang kau anggap hanya permainan. Ini memang permainan. Ini hanyalah permainan, ayo kita mainkan lagi. Tunggu aku. Aku akan datang dan menyelesaikan permainan yang belum selesai ini.
Nela Prasmetika
Dikejauhan gadis berpakaian hitam, yang sedari tadi memerhatikan laki-laki itu hanya diam mematung. Ia tidak pergi dari tempat itu, sama seperti laki-laki diseberangnya yang tidak meninggalkan tempat itu dari awal ia datang.
Aku berlari dan mencarimu. Hingga aku menemukan sosokmu. Aku yakin itu kamu tapi, mengapa kamu malah berlari. Ada apa? Aku terus mengejarmu dan aku menangkap sosokmu yang ternyata itu hanya halusinasiku.
“Nela......dimana kau sekarang ini.” Teriakku putus asa.
***
Masih saja aku menyasikkan layar kaca di teknologi canggih itu yang kuletakkan di atas meja dengan nada klasik. Warna kayu yang menggoda didukung nyala lilin begitu mewah. Tempat yang menawarkan segala cerita akan keromantisanya dan alunan musik yang menambah malam untuk pecinta. Ditambah posisiku yang pas dan dapat melihat bangunan tua serta beberapa orang diluaran sana yang sedang asyik melakukan swafoto. Ya, diluar memang sangat pas untuk melakukan swafoto. Taman dengan beberapa pohon rindang ditengahnya. Pohon-pohon dihiasi kerlap-kerlip lampu kecil, tempat duduk yang pas untuk saling bertukar pembicaraan. Ditambah ia diapit oleh bangunan-bangunan yang sangat terkenal. Namun, yang favoritnya hanya dua bangunan itu saja. Iya, Gereja Blenduk dan Gedung Marba.
Gereja yang ornamenya serba putih. Didalamnya terdapat banyak kursi, peralatan musik, lampu gantung yang begitu menawan dan terletak ditengah-tengah bangunan, serta sebuah ukiran dari besi yang menggantung seperti tempat keluarnya musik. Aku kadang berada ditempat itu untuk berbincang-bincang dengan Nelaku. Atau sekedar duduk ditaman untuk melihat bangunan diseberangnya dengan warna merah bata yang begitu menawan. Namun, itu hanyalah masa lalu.
Tapi, sekarang aku masih saja tidak bisa menikmati keindahan serta keromantisan sekelilingku. Aku masih menunggu gadisku yang tak kunjung tiba. Sudah dua jam lewat dari persetujuan. Kini kulihat arloji ditanganku yang menunjukan keangka 11 malam. Waiters tua yang duduk dipojokan sudah mulai terkantuk-kantuk. Pelayan cafe pun mulai membereskan kursi-kursi dan meja-meja yang tadi dipenuhi oleh pelanggan. Dan kini hanya tersisa diriku dengan dua mangkuk sup dan dua gelas bir yang belum terjamah oleh si pemesan. Kenapa kamu belum datang? Hingga embun malam mulai membasahi jendela disampingku. Lilin-lilin yang tadi utuh pun sekarang sudah tinggal matinya. Alunan musik yang bersemangat kini telah hilang. Aku hanya bisa tertunduk dan melihat pesan terakhirmu, kita bertemu di Spiegel Bar and Bistro jam 9 malam.
Tok...tok...tok...
Suara ketukan dari luar menyadarkanku dan membuat senyumku yang layu menjadi bersemangat. Kini dia telah berada di luar jendela besar cafe ini. Ia berdiri dengan senyum merekah dan menunjukan perut buncitnya. Kau begitu cantik gadisku, ditambah perutmu yang begitu indah. Tak sabar aku ingin mengusap dan berbincang-bincang dengan suara detak jantung diperutmu itu. Aku menyukai itu semua. Meskipun aku harus menunggu 1000 tahun tak akan ada artinya bagiku. Ketika kamu datang, rasa meyebalkan menunggu akan hilang begitu saja. Karena kamu adalah seseorang yang akan aku tunggu sampai kamu datang.
“Nelaku...”
---SELESAI---
Semarang, 27 Juli 2017




[1] Bipolar adalah penyakit kepribadian ganda tanpa disadari oleh pengidap. Ditandai dengan perubahan mood yang begitu cepat tanpa ia sadari.
[2] Teri adalah ikan laut yang berukuran kecil.
[3] Dopamin adalah sebuah neurotransmiter yang membantu mengontrol pusat kepuasan dan kesenangan diotak.
[4] Lirik lagu Payung Teduh-Kucari Kamu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Pramuka Di Era Modern

FUNGSI, PERAN, DAN MENGIDENTIFIKASI PERAN KEPEMIMPINAN DARI BERBAGAI DIMENSI

REVIEW FILM “DANCING IN THE RAIN”