Arsenikum Belanda-Malang


Oleh : Sema Karunia

Pulanglah kata tanpa berkata
Meskipun rekam kata terus bergulir
Hingga kata mendapatkan ruang untuk berkata

“Cak, kapan kau akan meneruskan pendidikanmu? Kasihan jika kau anggurkan saja otakmu di tempat. Argumenmu itu tidak cukup untuk menjawab segala peluh kaum marginal. Orang-orang berjas itu akan dengan mudah menjadikanmu kambing guling dengan rentetan gelar di depan bahkan di akhir nama mereka, yang belum tentu di yasinkan.”

***

Beberapa jam lagi pesawat akan take off dan semua orang termasuk aku akan menjemput kenangan di negeri Belanda. Negeri yang sempat ku bicarakan dengan seseorang. Kami berenam, termasuk istri kawanku Suciwati; Usman Hamid dari KontraS; Poengki Indarti dan Rusdi Marpaung (Imparsial), serta Rasyid kakak sulung kawanku. Dan aku, tak perlu tahu namaku karena aku tidak berperan dalam kisah ini. Karena ini kisah kawanku yang sering kupanggil, Cak.

Tidak berapa lama rombongan kecil ini berangkat dengan muka-muka layu yang entah apa mereka pikirkan. Aku hanya mengekor di belakang. Kami menggunakan penerbangan KLM 837. Pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta (nama yang diambil dari nama bapak proklamator bangsa tercinta kami, Indonesia) pukul 18.55 WIB. “Kawan bersabarlah, kami akan datang menemuimu.”

Kenangan melintas begitu saja menembus awan-awan biru seperti badan pesawat ini. Ketika cak memilih untuk menegakkan HAM dan memilih jalur melawan para pasukan berjas; berpangkat; beruang ia tidak peduli. Ia hanya tahu batasan-batasan rasial, gender, etnis, dan agama yang belum mendapatkan keadilan.

Hingga tak terasa, kami telah transit di Singapura. Dan ini mengingatkanku mengenai sikapmu. Sikap yang berusaha menjadi jembatan untuk di injak-injak rakyat yang membutuhkan jalanmu. Jembatan perbedaan-perbedaan karena terlalu banyaknya keegoisan, keserakahan, kemunafikan, dan penuh dengan tikus-tikus pengerat. Semangatmu begitu menggebu, cak. “ Meski racun-racunmu menjalar di jalan-jalan darahku tak akan sanggup membunuh kejujuran, juga keberanian.”

Kamis, pukul 5.30 waktu setempat kami tiba di Amsterdam. Kawan kini tubuhku berada didekatmu. Kota ini begitu indah, tapi perjalananku bukan untuk memanjakan mata. Tujuanku adalah dirimu, kawan. Dirimu yang selalu mengusik dan mengganggu orang-orang besar. Hingga tiap hari teror selalu berdatangan kepadamu dan kau menanggapi dengan santai. “Aku harus bersikap tenang walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut,” aku selalu ingin tertawa ketika kau berkata seperti itu. Sikapmu yang begitu tenang, seperti aliran sungai Brantas yang begitu terkenal di kalangan musuh-musuhmu hingga mereka bersikap rendahan mengirimkan teror-teror tak berkualitas.

Bahkan saat tugas pertamamu di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kau sudah mengalami banyak masalah. Misalnya saja saat di Malang, ya tidak lain mengenai sebuah areal kantor industri di Jawa Timur. Militer dan politik perburuhan memang benar makanan sehari-harimu, cak. Hingga tahun 1994 kau pun turun tangan mengenai kasus pembunuhan buruh wanita, Marsinah. Namun, kau pun dipindahkan ke Jakarta untuk duduk di kepengurusan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan kau berhadapan lagi dengan kasus baru 27 Juli 1996, yang berkaitan dengan operasi militer lagi. “Apa kau tak lelah menghadapi kasus yang sama, cak?”

“Bagaimana lagi, aku terlalu mencintai rakyatku sehingga batinku menangis ketika keadilan tidak berada di genggaman tangan mereka.”

Kau dan KontraS juga berhasil mengejutkan publik dengan keberhasilanmu melawan kasus-kasus HAM, serta berhasil mengembalikan kasus penghilangan politik. Sebuah kemustahilan berhasil kau bantahkan karena sepak terjangmu melalui strategi yang tidak lazim bagi sebuah LSM HAM saat itu. Hingga puncaknya dengan peristiwa dicopotnya tiga perwira penting miiter Kopasus saat itu, yakni Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan dengan alasan kala itu mengenai penculikan aktivis mahasiswa. Kasus itu benar-benar mengejutkan ranah militer Republik Indonesia begitupun dengan aku. Kau benar-benar pemberani, cak.

KontraS dan YLBHI pun menjadi tempat pengaduan kaum marginal yang terbuang kala itu. Hingga kasus-kasus mulai berdatangan dari Kasus penenmbakan mahasiswa di Trisakti; Semanggi I dan Semanggi II; Tragedi Mei (1998); Kasus Tanjung Priok (1994); kasus Talangsari (1989); penculikan 1997/1998; pembunuhan massal 1965/1966, dan kasus lainnya yang tak bisa kusebutkan. Cak, kau memang tak pernah menyerah. Kenangku mengelilingi kota Amsterdam untuk menuju tempatmu saat ini di Mortuarium.

***

“Bagaimana bisa si berengsek itu dibebaskan? Sedangkan ia telah membuat ketidakadilan ini! Berengsek!” ucapnya beberapa minggu sebelum keberangkatannya ke Belanda untuk mengejar S2.

Ia begitu sangat kecewa mendengar bebasnya terdakwa kasus Tanjung Priok di Pengadilan HAM ad hoc. Munir tetaplah seorang yang kecewa meskipun berbagai penghargaan HAM telah melekat dipundaknya. Apalagi orang yang harusnya di hukum masih berkeliaran bebas di lingkungan kekuasaan. Mungkin inilah sebuah hipotesa mengenai Arsenikum Belanda-Malang.

***

Pukul 08.00 waktu setempat aku dan rombongan termasuk Suciwati akhirnya dapat menemui, Cak. Ia telah terbujur kaku di sebuah ruangan bernama Mortuarium. “Kawan apakah perjuanganmu terhenti bersama kematianmu?”

Menjelang siang ruangan ini dipadati oleh para sahabat Munir yang berada di Belanda, baik mereka bekerja maupun bersekolah bahkan baik dari London Inggris sengaja datang untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Munir, si pejuang HAM dari Indonesia. Siang hari, setelah jenazah dikafani perwakilan kerabat, keluarga serta perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda, termasuk aku ikut serta menyolatkan jenazah sebagai bukti penghormatan terakhir kami.

Pada hari Jum’at, 10 September sekitar pukul 22.00 waktu setempat jenazah kawanku Munir dibawa ke Indonesia dengan pesawat KLM 738 dari bandara Schipol. Suciwati istri Munir masih tak percaya melihat suaminya telah terbujur kaku. Ia tak menyangka kepergian suaminya untuk menempuh pendidikan guna kemajuan intelektualnya dalam menangani HAM sebagai kepergian untuk selama-lamanya. “Aku pamit dulu, jaga anak-anak dirumah.”

Sabtu, 11 September 2004 sekitar pukul 17.00 WIB jenazah tiba di Bandara Soekarno Hatta dengan nomor Surat Muatan Udara (SMU) 07431265846. Disana kawan-kawan telah menunggu kepulangan jenazah bahkan ada yang menunggu dari pagi sebagai bukti kecintaan mereka terhadap, cak. Jenazah pun segera diantarkan ke kota Batu, Malang, Jawa Timur untuk disemayamkan ditanah kelahirannya. Namun, sebelum jenazah dipindahkan ke dalam pesawat Boeing 737 Merpati dengan nomor penerbangan MZ 3300 selama beberapa menit ditempakan di area Karantina Kesehatan Bandara Soekarno Hatta. Jenazah dan keluarga serta kerabat terbang pada pukul 19.30 WIB menuju pangkalan udara Abdurrahman Saleh-Malang. Pada pukul 21.10 WIB jenazah beserta rombongan tiba di Malang. 

Solat jenazah pun dilakukan kedua kalinya di Universitas Brawijaya sebagai penghormatan terakhir kali. Acara ditempat itu diwarnai oleh isak tangis rombongan, sahabat, alumnus, kawan perjuangannya bahkan juga ada beberapa orang yang pingsan karena tak percaya atas kepergian Munir.

Selanjutnya, iring-iringan mobil jenazah melanjutkan perjalanan kerumah Ibunda Jamilah orang tua , cak yang tinggal di jalan Diponegoro 169, kota Batu, Malang Jawa Timur. Suasana duka sangat melekat dikota ini. Bahkan patung batu apel dibungkus oleh kain hitam dan seluruh rumah di Malang mengibarkan bendera setengah tiang. Ratusan orang telah siap menunggu kedatangan jenazah. Dan setibanya jenazah di rumah duka warga disana berebut untuk mengangkat keranda cak sebagai bukti penghormatan terakhir dan doa untuk almarhum. Berbagai karangan bunga pun memenuhi pelataran rumah ibunda Munir.

Pada minggu pagi 12 September 2004, ribuan pelayat hadir hingga menutup jalan Diponegoro. Begitu banyak orang yang menyanyangimu, cak. Setelah itu ribuan pelayat mengusung keranda almarhum menuju Masjid At-Taqwa untuk disolatkan lagi. Usai disolatkan jenazah diusung kepemakaman umum Kelurahan Sisir, batu yang berjarak sekitar 500m dengan berjalan kaki. Ribuan orang mengikuti hingga proses akhir pemakaman. 

Begitu banyak yang menyanyangkan kepergianmu, cak. Aku begitu tak menyangka jika kepergianmu ke Belanda adalah penjemputan nyawamu. Konspirasi dan persengkokolan untuk melenyapkanmu begitu rapi. Mungkin ini yang aku takutkan cak, kematian. Kematian di jalan kebenaran selalu menghantui kami pembela rakyat-rakyat yang tertindas. Tapi, kami akan terus meneruskan perjuanganmu cak. Tenanglah dialam sana meskipun aku tahu kau masih menangis. Karena kau pergi dengan tenang sedangkan diatas kuburmu negeri ini semakin kacau. 

---SELESAI---




Sumber referensi buku “Bunuh Munir” yang di tulis oleh Edwin Partogi, Haris Azhar, Indria Fernida,Papang Hidayat dan Usman Hamid.
Serta kata-kata mutiara Munir diambil di Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Pramuka Di Era Modern

FUNGSI, PERAN, DAN MENGIDENTIFIKASI PERAN KEPEMIMPINAN DARI BERBAGAI DIMENSI

REVIEW FILM “DANCING IN THE RAIN”